Kamis, 17 November 2016

Halaman Baru Yang Meliputi Hujan

Halaman Baru Yang Meliputi Hujan

Judul Cerpen Halaman Baru Yang Meliputi Hujan
Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Mengharukan
Lolos moderasi pada: 30 October 2016
Matahari kian meninggi. Tidak terasa hari sudah beranjak, sekarang pukul 07:00 WIB membantu banyak pekerja di bumi yang semakin meningkat. Di antara ribuan serta milyaran orang yang memiliki masalah, baik itu ringan maupun berat. Lantas, adakah di antara milyaran orang itu yang dapat menjalankan solusi dengan benar atau bahkan tidak mendapat solusi yang tepat.
Pagi ini aku mengirim pesan ke ayah kalau aku ingin mengikuti lomba cipta cerpen dan baca puisi. Namun tak ada satu respon pun yang kubaca dari kotak masuk dan hanya tanda read yang muncul di layar smartphoneku. Aku menunggu jawaban hingga bel istirahat tiba, tapi pesanku tidak kunjung dibalas. Rasa kecewaku sedikit muncul. Aku memang benar-benar gemar dengan yang namanya sastra. Namun apakah disaat aku ingin kegemaran serta bakatku itu kukembangkan, tidak ada yang memberiku jawaban? Aku lelah, disaat aku butuh, ayah tidak ada di sampingku. Aku hanya bisa mengandalkan mama. Sementara ayah hanya sibuk dengan istri baru dan anak tirinya itu.
Seandainya mama disini, aku pasti langsung memeluk mama. Jalanku salah. Seharusnya aku menolak tawaran ayah tiga bulan yang lalu untuk pindah ke desa. Ayah sudah berjanji denganku dan mama kalau ayah akan selalu ada. Tetapi apa? Ayah tidak pernah menafkahi kami lagi, sementara mama berusaha mencari uang untuk memenuhi biaya sekolah, makan, dan segala kebutuhan lain. Kenapa ayah pergi, apakah ayah lupa dengan janji yang pernah ayah tuturkan dulu? Ayah lupa atau memang ayah sudah merencanakan ini semua? Apakah ayah tahu kami tidur tanpa selimut disini? Darimana ayah tahu kami sudah makan atau belum dan darimana ayah tahu kami makan sehari-hari dengan apa? Apakah ayah tahu nilai-nilai ulanganku bagus? Ayah memberi harapan layaknya daun hijau kemudian kering. Berubah warna menjadi warna kecoklatan dan rapuh lalu tertiup oleh angin. Pohon yang kita tanam dulu hanyalah sebuah harapan yang sama sekali tidak memiliki kepastian yang jelas dan hanya terlewatkan begitu saja, bagaikan boneka lucu yang ditinggal tanpa sebab di tepi jalan raya. Semua pergi secepat air yang merambat pada tissue kering. Dulu, ayah selalu mendukungku disaat seperti ini. Disaat aku ingin berprestasi di bidang yang sesuai dengan bakatku yang luar biasa yang dulu selalu ayah banggakan. Tetapi saat ini apa? Ayah tidak membalas percakapanku.
Mama mengajarkanku banyak hal dari apa yang telah ayah tulis selama ini di buku diary. Menuliskan semu di dalam mataku, dan kemudian kusalin di lembaran diaryku yang putih bersih, halus, tanpa ada noda-noda yang basah disana. Namun sekarang? Kertas itu berubah menjadi kusut, kertas itu benar-benar kusut. Kertas itu tidak akan mulus lagi meski kusetrika dua puluh empat jam sekalipun. Dugaanku salah, aku menganggap wanita berperawakan kecil tinggi putih itu hanyalah kakak dari mama. Aku rela ketika dulu wanita itu memotong bulu mataku seperti layaknya barbie yang masih kusimpan di lemari kecilku. Kini aku sadar, kini aku paham, dan kini aku masih bertahan. Ketika wanita itu hadir di rumah kita, mama tampak murung disana, namun mama tak kunjung merasa aneh saat itu. Karena mama tahu bahwa mama adalah wanita biasa. Apakah ayah masih ingat? Ketika aku masih kecil mama pergi tanpa alasan, dan tidak tahu kemana, kemudian ayah berkata “pergi saja kamu menjadi pel*cur” apakah artinya pel*cur ayah? Mengapa mama langsung menangis? Ayah mengirimkan kalimat itu pada saat mama sedang berdo’a. Menangis di tengah kegelapan yang menimpa mama malam itu. Ayah mengatakan kalimat sesingkat itu disaat umurku masih kecil. Apakah ayah tahu? Aku masih belum mengerti pada saat itu. Namun air mata mama tetap saja mengalir. Pipinya basah ketika aku menanyakan apa arti kalimat itu. Mama memelukku erat, menangis menghabiskan suaranya yang sudah serak. Mukena yang dikenakannya basah. Matanya membengkak, wajahnya memerah, sementara ayah masih terus menghadirkan kegelapan, hingga sulit rasanya untuk membedakan mana bintang dan mana api. Ayah membawa mama jauh-jauh dari pulau Jawa, dimana dulu mama tinggal. Sementara kini, ah, sudahlah.. Ayah tak melihat ke belakang lagi dan meninggalkan sesosok wanita soleha yang kuat, bersama anak kandungmu yang tidak mengerti apa yang terjadi. Mama berjuang sendiri yah! Mama bekerja keras menguras tenaganya. Ayah meminta persetujuan terhadap mama ketika ayah ingin menikahi wanita berhati busuk itu. Ayah memaksa mama, menghantam mama dan menyiksa mama! Dan lagi-lagi ayah membuat pipi mama basah. Ayah mencium wanita itu di depan mata mama yang meneteskan air. Apakah ayah tahu bagaimana perasaannya saat itu? Omongan para tetangga yang menyakitkan hati mama dan mereka bukan mengejek mama, melainkan menasehati mama. Mengelus dada, memeluk serta mencium mama. Dan kata-kata yang terucap oleh bibir mereka yang bervariasi membuat mama luluh apa arti kesabaran. Mendengar kata-kata saat pernikahan bahwa ayah masih seorang remaja biasa, namun mama hadir ibarat tamu-tamu biasa. Apa yang kurang dari mama, apakah mama kurang sabar selama ini? Apakah mama kurang soleha? Namun apa jadinya wanita berhati busuk itu menusuk mama dari belakang? Apa ayah sudah memilih keputusan yang tepat? Jika diibaratkan dengan burung, apakah ayah ingin meninggakan sarangmu yang penuh barokah itu? Dan ayah telah membuat kembang merah menjadi layu, tetesan hujan tidak bisa lagi membuatnya bangun. Semua karena ayah! Apakah ayah tidak bersyukur mempunyi sosok wanita idaman seperti mama? Ayah telah memiliki semuanya dan memiliki sarang yang bagus serta suasana yang indah disini. Kemudian sarang itu dinodai oleh istri keduamu dan dia menghancurkan kita yah! Dia menjerumuskan kita ke jalan yang salah kemudian membuat ayah berdosa! Dia tidak kunjung berteman dengan kita yah! Apakah engkau ingat wahai ayahku tercinta, saat ayah melemparkan piring kaca yang berisi makan siang masakan mama yang lezat itu? Piring pecah hampir mengenai kepala anakmu dulu yang lagi asyik bermain dengan bonekanya. Piring itu pecah dan tak bisa menyatu lagi. Piring itu menjadi beling-beling kecil yang mengenai kaki mama. Kaki mama menumpahkan darah yah! Mama langsung dibawa oleh tetangga ke puskesmas terdekat. Namun apakah ayah hadir disana dan membayar pengobatan mama serta menguatkan rasa sakit mama? Tidak, ayah pergi tanpa memikirkan mama dan membiarkan mama menangis di bawah lututmu! Lalu ayah menendangnya, sementara aku hanya bisa berlari menuju kamar dan menangis bersama boneka kesayanganku, boneka yang pernah mama beli. Aku melampiaskan rasa sayangku terhadap boneka itu dan membayangkan boneka itu adalah mama. Aku memeluknya erat serta menutup kedua telingaku yang penuh dengan suara mengerikan. Mengapa ayah sejahat itu? ayahku yang ini bukanlah ayah yang kukenal. Ayah tidak mungkin setega ini. Berapa kali ayah sudah menyakiti mama. Membuat pipi kami tak lekas kering. Tapi apakah setelah ayah membaca ini ayah juga ingin ikut menangis dengan kami? Apakah ayah akan sadar dan ingin bertaubat lalu tak akan melakukan semua kesalahanmu lagi?
Aku hanyalah seorang anak biasa yang tidak pernah luput dari kesabaran. Memiliki berbagai penyakit serta keluarga yang terus meliputi hujan. Ingin kukatakan langsung kepadamu rasa sakit yang kurasakan. Meski rasa sakitku tidak seperih sakit yang mama rasakan sejak dulu. Namun apa daya, aku masih belum dapat mengambil kesimpulan tentang ini. Aku hanya bisa menurunkan hujan. Hujan deras yang keluar dari kedua kelopak mata hitamku. Aku adalah anak yang menginginkan ayahnya sadar. Menginginkan ayahnya kembali. Kembali kepada kami. Dan menanam kembang berbatang mulus yang dulu pernah kita tanam bersama.
Saat ini, aku sedang berada di asrama. Lebih tepat lagi yaitu, di lantai empat. Pemandangan indah hadir disini. Menemaniku di kehidupan yang gemuruh. Membisikanku apa arti sabar. Menyapaku dengan hembusan udara sejuk yang menaikkan rambut tanganku. Mengibarkan hijab hitamku yang besar. Awan-awan mengumpul, warnanya sedikit berubah menjadi gelap. Seakan ingin menghadirkan air laut yang diserap, dan kemudian ia jatuhkan lagi ke permukaan bumi yang menjadi planet ke tiga jika diurutkan dari matahari. Jemuran yang lekas kering, turut berduka ketika hujan turun. Membasahi tubuhnya yang sudah seharian berjemur di bawah teriknya matahari.
Kulihat pesawat yang turut ingin mendarat dari kejauhan. Maupun yang terbang dari arah bandara. kulihat, tersenyum, dan berdo’a agar penumpang yang ada di dalamnya tidak akan merasakan apa yang kurasakan. Melihatnya yang semakin jauh, kecil, dan hilang ditelan awan tebal. Membuat mataku menyipit terkena air yang menetes di bulu mataku. Burung kecil yang ingin kembali ke sarangnya, melampai-lambaikan sayapnya terhadapku. Dedaunan pohon yang ikut bergoyah oleh kencangnya angin. Hingga suara detakan telapak kaki terdengar. Salah satu siswi yang berlari ingin mengambil jemurannya.
Gedung-gedung tinggi tampak disini. Menyapaku agar suatu saat nanti akan kudatangi dan bekerja disana. Menuliskan beribu-ribu imajinasi yang kupunya. Membentuk sepatah atau dua patah kata, yang dipatah-patahkan menjadi beribu-ribu kata, sehingga menjadi kalimat, kemudian dilanjutkan oleh paragraf dan memiliki ide pokok, tokoh, alur, maupun aturan lainnya. Kemudian memiliki cover yang unik. Tidak lain dan tidak bukan. Tujuanku hanya untuk mengekspresikan segala cobaan yang diberikan Tuhan terhadap hamba-Nya. Menginspirasi serta memotivasi jejak-jejak kehidupan mereka yang sedang diselimuti batang berduri.
Awan itu kembali memisahkan diri dari temannya. Hingga langit kembali menjadi cerah. Kulihat lagi segerombolan anak kecil berlarian bersama sahabat sejatinya, melihat genangan air di selokan kecil. Mengeluarkan plastik-plastik bekas yang tidak tahu siapa yang membuangnya, tetapi tidak bertanggung jawab.
Sesuai dengan keputusanku, aku mengikuti lomba cipta cerpen dan mengawalinya dengan kata “hari ini”.
Hari ini? Rasanya biasa saja. Namun sepertinya sudah terbiasa dengan keadaan hujan. Keanehannya semakin hari semakin meningkat. Level permainannya sungguh ia bakatkan. Lelah! Kata-kata yang ingin kuucapkan padanya. Misterius, supel, lupa, senang. Ibarat bunga yang mekar didatangi oleh lebah yang jahat. Namun tak kunjung berteman, melainkan hanya menghisap sari madu yang amat manis. Saat ia kehausan, ia datang kepadaku dan mama. Tetapi disaat sari madu kami hampir habis, ia pergi begitu saja. Ia pergi bersenang-senang bersama lebah barunya. Keanehan yang dimilikinya membuat sari madu yang pernah dihisapnya menjadi layu. Lupa saat kehausan. Tetapi tidak papa. Datanglah ketika engkau merasa ingin diselimuti dan merasakan kehausan ayah.
“Mama, kakak berangkat sekolah dulu ya.” Ujarku sambil mencium tangan mama, lalu mengambil uang jajan di atas meja, kemudian berlari.
“Loh, kamu tidak sarapan dulu? Nanti kepalamu sakit lagi kak!” teriak mama yang langsung beranjak ke pintu.
“Di sekolah saja ma… Sudah keburu telat. Assalamualaikum.”
“Mama buatkan bekal saja kak!” sahut mama cepat. Namun diriku tidak lagi tampak disana. Aku tak mendengar kata-kata apa yang mama tuturkan itu.
Ketika beberapa menit lagi aku akan sampai, ada kejadian yang menimpa teman kelasku. “kecelakaan” yang tepat di samping sorot mata kananku. Motor bernama Mio dan berwarna biru langit terseret di dekatku. Pengendara yang ikut terseret, hingga melumpuhkan kakiku menuju gedung sekolah. Pak polisi yang tadinya hanya mengatur jalan di perempatan, ikut bergotong mencari pahala di sekitarnya. Wanita berkerudung putih tebal, serta seragam putih abu-abu menyerupai seragam sekolahku, dan berperawakan kecil. Maupun warna kulitnya yang sawo matang. Tenggorokkannya mengalirkan darah yang sangat deras. Aku terdiam sejenak, kemudian berbicara bahwa “aku akan mengalami kejadian ini.”
“Asaaaalll!!! Awasss!!!” menyadarkanku dari lamunan itu. Aku melihat ke arah tangan para pengemudi lain, tepat di sebelah kiriku. Truk yang sangat besar mulai mendekati. Membawa bongkahan kayu jati yang akan dijual. Lantas aku tidak melarikan diri. Mobil itu melaju kencang dan semakin dekat denganku. Tetapi mobil itu terlihat ingin memelukku erat. Kakiku tidak bisa digerakkan. Seakan ada lem yang melekat di antara aspal dan kakiku. Namun Bunga menyeretkanku ke tepi jalan, lompat bersamanya, hingga aku sedikit tergelincir lalu sadar. Apa yang telah kulakukan? Aku hampir mengambil nyawaku sendiri. Sementara para pengendara, serta pekerja jalanan lain sibuk mengoceh kecerobohanku.
Dalam kegelapan malam, sulit mengatakan mana langit dan mana tanah, dan apakah sinar itu api atau bintang. Kemanakah ayah pergi? Aku sudah banyak menceritakan kejadian pagi tadi terhadap banyak orang. Tinggal dirimu seorang yang belum sempat kuceritakan. Aku rindu. Semua orang mengkhawatirkanku. Apalagi mama. Apakah engkau tidak ingin tahu bagaimana kabarku ayah? Aku sedang ketakutan. Aku butuh hiburan dari ayah. Apakah engkau tidak mengkhawatirkanku seperti orang-orang? Kapankah engkau kembali memelukku? Menciumku? Serta berbagi cerita ringan bersama aku dan mama. Pulanglah ayah. Kami ingin engkau kembali. Sadarkanlah istri keduamu itu.
Begitulah cerpen yang saat ini kubuat. Lama sudah aku menunggu pengumuman lewat online. Meratap layar laptop hingga membuat mataku tidak berkedip. Berharap bahwa juara itu bertemu denganku. Aku ingin menang. Dan cerpen ini dipublikasikan. Serta mereka tahu bagaimana arti kesabaran disaat halaman baru yang meliputi hujan menahan semua keluh kesahnya. Mengharapkan seseorang yang dicintainya kembali. Meski sudah berkali-kali mencoba menghubungi ayah. Namun tak ada satu jawabanpun yang kuperoleh darinya. Mama tidak lepas dari do’anya yang penuh permohonan. Ingatlah ayah. Masa-masa dulu engkau ingin menikahi mama. Masa-masa engkau sangat mencintaai sosok wanita seperti mama. Ingin rasanya agar engkau sadar setelah membaca ini. Membaca limpahan kepedihan yang aku rasakan bersama mama. Kankerku sudah di tahap akhir. Rambut lurusku tidak lagi bisa kau pegang dengan tanganmu yang mulus itu. Jika aku tahu semua ini akan terjadi disaat kita pindah ke desa ini. Dulu aku akan menolak permintaanmu itu ayah. Aku lebih baik berada di pelukan Tuhan. Dan selalu bisa melihatmu tersenyum dari kejauhan bersama mama. Tetapi, sebelum aku terbang ke langit yang amat jauh, serta melewati awan kumulonimbus dan curah hujan yang tidak membaik, aku ingin memberi untukmu dan mama, berhelai-helai uang kertas, serta sertifikat yang kuraih dalam hasil kerja keras imajinasiku ini.
Aku menulis banyak cerita kita disini. Dan berharap banyak dari panitia yang menyelenggarakan lomba cipta cerpen ini.
Tersenyumlah ayah. Tersenyumlah! Bersama kekasih tercintamu yang sebenarnya. Cita-citaku telah tercapai untuk memberikan uang hasil kerja keras imajinasiku. Aku senang melihatmu disini. Jangan menangis ayah, hapus air matamu. Aku akan terus melihatmu dan mama. Bersama Tuhan yang memelukku hangat. Jangan pikirkan diriku ayah. Aku sudah sangat nyaman disini. Aku bangga melihat ayahku kembali ke sisiku dan mama. Meski dengan cara seperti ini, engkau sadar. Nikmatilah hidupmu bersama mama. Bacalah semua cerpen yang sudah kubuat dari kisah-kisah kita di laptopku. Suasana disaat ayah masih belum sadar. Jagalah mama, ayah. Jangan izinkan pipi mama basah lagi. Kuatkanlah mama. Ajaklah mama pulang dari pemakamanku. Walau aku tahu berat rasanya melangkahkan kaki untuk pulang. Beritahu mama, kita akan bertemu di surga nanti. Kita akan bersama-sama lagi. Aku akan kembali memegang kumis dan jenggotmu yang tajam itu. Mencabut uban yang bersembunyi di sela-sela rambut kepalamu yang keras. Dan memulai membuka halaman kita yang baru. Aku mencintaimu ayah.
TAMAT
Cerpen Karangan: Janani Budi Daffa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar