Kamis, 17 November 2016

Cerpen Sepercik Senyum Sejuta Luka

Sepercik Senyum Sejuta Luka

Judul Cerpen Sepercik Senyum Sejuta Luka
Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Sedih, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 31 October 2016
Jogja belum bangun. Sayup-sayup dari celah jendela hembusan nafas masih terdengar. Detak jantung masih berdenting. Tangan itu masih berdenyut. Perlahan aku membuka mata. Sama seperti kemarin. Aku masih melihat sekotak kamar kecilku. Masih dengan dinding yang sama. Warna merah muda dan lambang klub sepak bola favoritku, Manchester United. Masih melihat tulisan-tulisan indah berkelok-kelok di atap ‘Selamat, seorang Azmya masih bernafas hari ini. Semoga menjadi hari yang tak terlupakan. Ayo tersenyum’. Setiap kali aku bangun dari mimpi malamku, aku pasti akan melihat dan membaca tulisan itu. Dan perlahan aku tersenyum.
Ya. Namaku Azmya Azzahra Ramadhani. Aku seorang siswi SMA kelas 2 di Jogja tahun ini. Mungkin aku adalah sebagian dari manusia yang beruntung di dunia ini. Aku memiliki Ibu yang sangat-sangat mencintaiku, Ayah yang selalu perhatian denganku, dan kakak yang mengerti aku. Walaupun begitu, aku mungkin juga sebagian dari manusia yang tak beruntung di dunia ini. Ya, aku mengidap penyakit yang sama sekali tak ada obatnya. Dokter memvonis waktuku hanya sebentar. Mungkin ketika aku berumur 20 tahun aku tak dapat lagi untuk berjalan, 23 tahun aku tak dapat lagi untuk bicara, 25 tahun aku tak dapat lagi menghembus nafas.
Aku kadang berpikir kenapa harus aku yang mendapatkan penyakit ini? Kenapa harus seorang Azmya yang merasakan? Apa tidak ada manusia lain yang punya penyakit seperti ini selain aku?. Kadang aku juga bertanya pada ibuku, “Bu, apakah aku bisa kuliah?” “Bu, apakah aku kelak dapat bekerja?” “Bu, apakah aku kelak dapat menikah dan mempunyai seorang anak?”. Jawabannya selalu sama “Kamu pasti bisa”. Tapi disamping jewaban itu, aku tak langsung mempercayainya, aku selalu berpikir dia hanya ingin menenangkanku.
Aku punya banyak hal yang ingin kuceritakan, tapi aku takut akan membuatnya khawatir. Meski begitu, mungkin ibuku sudah lebih tau apa yang akan terjadi padaku walaupun aku tak menceritakan apa-apa padanya. Sebelum aku menginjak usia 17 tahun, semuanya tetap sama dengan yang lainnya, tetap sama dengan teman-teman sekolahku, tetap sama dengan manusia lainnya yang hidup sehat. Tapi setelah itu, aku berumur 17 tahun. Satu per satu keanehan datang padaku. Perlahan semuanya berubah. Aku jadi sering jatuh, pandanganku kabur, aku tak pandai menghitung jarak dengan tepat, sampai-sampai sekarang aku tak pandai menulis.
Sebenarnya aku telah lama mengetahui diriku. Mungkin sekitar aku duduk dikelas 3 sekolah dasar, orangtuaku berbicara tentang diriku. Waktu itu aku tak sebegitu khawatir, mungkin karena aku belum tau betul seganas apa penyakit itu. Pada saat itu, aku selalu menuliskan cerita hidupku dalam buku harianku agar di suatu saat ketika aku telah lupa akan sesuatu hal, buku ini dapat mengingatkanku. Masih tertulis dengan jelas “ataksia spinocerebellar, penyakit cacat yang fatal dan tidak dapat disembuhkan”. Ya, ternyata aku dilahirkan dengan normal tapi aku juga dilahirkan cacat. Bukan cacat fisik seperti kebanyakan orang, bukan cacat seperti aku tak mempunyai tangan, kaki, atau apa. Semuanya lengkap. Tapi, salah satu bagian otakku yaitu cerebellum volumenya menjadi lebih kecil dari bentuk normal (atrofi) dan lama-kelamaan menyebabkan kesulitan dalam mengontrol gerak tubuh.
Hari itu saat aku duduk di kelas 1 SMA. Cuaca agak cerah dengan hembusan angin Agustus yang lembut. Setelah pelajaran selesai dan semua murid bergegas untuk pulang, aku merasa kakiku lemas dan seketika aku terjatuh. Aku berusaha bangkit, namun aku dikagetkan dengan uluran tangan seseorang. “Bisa kubantu?” Katanya. Sontak aku melihat wajahnya. Seorang cowok kelas 2 terkenal di sekolah. Sebenarnya aku juga menyukainya, tapi karena keadaanku, aku tak berani melakukannya. Aku takut untuk mencintai seseorang. Saat itu, aku hanya mengaguminya dalam diam. Sejak pertemuan waktu itu, kami semakin dekat. Saat aku terjatuh, dia selalu di sampingku, tetap sama mengulurkan tangannya utukku.
‘Kringgggggg…’, suara telepon di ujung berdering
“Halo” ucapku
“Halo, bisa bicara dengan Azmya?”
“Iya saya sendiri, dengan siapa saya bicara?”
“Ini bang Ryu, apa kamu sibuk?”
Seketika aku kaget, tapi aku sangat bahagia. Cowok kelas 2 itu meneleponku.
“Emm.. nggak kok. Memangnya ada apa bang?”
“Pergi ke toko buku yuk, ada buku baru yang harus kamu baca. Aku jemput yah”, suara di ujung sana itu membuat dadaku sesak. Aku tak tahu kenapa seperti ini. Mungkin akibat rasa senang yang berlebihan. Aku menebak-nebak sendiri. Atau mungkin hal lain tentang penyakitku? Ahh.. Rasanya aku tak mau berpikir tentang itu. Yang aku pikirkan aku akan pergi bersamanya.
“Eh kok diem, masih di situ kan?”, suaranya kembali terdengar, sontak aku kaget
“Eh emm iya, aku siap-siap dulu ya”
“Oke, aku langsung ke sana. Sampai jumpa”
“Sampai jumpa”
Aku menutup telepon dengan tangan gemetar. Tapi senyumku tak kunjung habis. Aku sangat bahagia hari itu. Ada rasa yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Ada rasa yang tak pernah datang dari sekian banyak umur yang telah kuhabiskan.
Aku semakin dekat dengannya, bahkan aku menjalin hubungan dengan cowok kelas 2, kakak kelasku itu.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun ajaran baru pun dimulai. Aku menginjak bangku kelas 2 SMA, sedangkan Ryu selangkah lagi akan masuk jenjang perguruan tinggi. Usiaku menginjak 17 tahun. Sudah banyak sekali kejadian aneh dalam diriku. Tiba-tiba saja aku jatuh tanpa sebab, gerakanku terhenti dalam beberapa menit, bahkan sekarang aku tak pandai lagi menulis. Dokter mengatakan penyakit ini semakin akut dan mengakibatkan sistem motorik semakin memburuk. Pantas saja, sekarang aku tak dapat menentukan jarak dengan tepat. Meski segalanya dalam hidupku seperti dalam ribuan tangis, tapi terdapat sepercik senyum di dalamnya. Ryuta Wiratama. Ya, nama itulah yang memunculkan senyum yang menghias wajahku sehari-hari. Ryu tahu tentang penyakitku ini, tapi dia sama sekali tak menghiraukannya. Aku selalu melihat senyumnya mengembang setiap kali bersamaku. Pancaran mata lembutnya itu membuatku melupakan beban hidupku. Sampai hari ini dimana seorang Azmya semakin memburuk, seorang Ryu tetap dalam rasa itu. Tetap di situ untukku.
Cerpen Karangan: Laela Wahyu Romadhoni
Facebook: Laela Wahyu R

Tidak ada komentar:

Posting Komentar