Kamis, 17 November 2016

Gadis Kecil Di Bawah Hujan

Gadis Kecil Di Bawah Hujan

Judul Cerpen Gadis Kecil Di Bawah Hujan
Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Kehidupan, Cerpen Motivasi
Lolos moderasi pada: 12 November 2016
Hujan turun dengan derasnya menghalangi sinar matahari dan membasahi apapun yang dilewatinya. Tak terkecuali halte yang menjadi tempatku berlindung dari hujan. Aku membenci hujan karena hujan dapat menghambat perjalananku tapi entah kenapa hari ini aku menyukainya. Hujan hari ini seakan mewakili hatiku yang terluka karena aku dipecat dari perusahaan tempatku bekerja selama lima tahun karena kesalahan yang tak pernah dilakukan.
Hujan semakin deras dan tak ada tanda akan berhenti. Halte yang kutempati sangat sepi. Bahkan jalan yang biasanya ramai kini hanya terlihat beberapa orang-orang yang sedang berteduh. Tampaknya orang-orang sedang malas ke luar rumah atau sedang sibuk bekerja. Tapi tidak denganku, aku tak punya pekerjaan untuk dilakukan ataupun rumah untuk kembali. Walau rumah orangtuaku dekat sini, aku sudah tidak berhubungan dengan mereka lebih dari tiga tahun. Ingin rasanya aku pergi dari dunia yang kejam ini.
Lamunanku terputus saat ekor mataku menangkap seorang gadis Kecil yang muncul dari belokan jalan dengan sebuah payung besar di tangannya. Tubuh Kecil kurusnya basah kuyup oleh air hujan. Kulihat gadis kecil itu berlari-lari Kecil sambil menawarkan payungnya pada orang-orang yang sedang berteduh di depan toko-toko sepanjang jalan. Sambil berlari-lari Kecil mengikuti seseorang yang sedang menggunakan payungnya untuk menyeberang dan menerima uang darinya.
Aku terus memperhatikan gadis kecil itu sampai tak sadar kalau ia telah berada di hadapanku, menawarkan payungnya padaku. Aku menolaknya karena aku masih tidak punya tempat untuk pergi. Gadis kecil itu tersenyum kecil dan ikut berteduh bersamaku. Ia duduk agak jauh dariku, mungkin agar aku tidak basah karenanya. Payung besar selalu berada di tangannya diletakkan di samping kaki mungilnya. Gadis kecil itu mengeluarkan kantong kresek hitam berisi uang yang dihasilkannya dan menghitungnya. Lagi-lagi gadis kecil itu tersenyum, mungkin penghasilannya banyak hari ini.
Karena bosan aku mengajak gadis itu berbicara.
“Dek, kamu tidak sekolah?.” Kataku padanya.
“Sudah berhenti kak.” Dengan senyum yang masih betah berada di bibirnya yang keriput kedinginan.
“Lho, kenapa?.” Dengan senyum yang masih sama gadis kecil itu menjawab pertanyaanku.
“Karena masalah biaya kak. Saya mempunyai dua orang adik yang masih kecil-kecil. Bapak meninggal dua bulan lalu karena tertimpa beton saat bekerja, sedang ibu sekarang sedang sakit-sakitan. Sekarang saya menjadi tulang punggung keluarga. Jangankan untuk sekolah, untuk makan sehari-hari saja kadang tidak cukup.” Jelasnya dengan wajah murung tapi tetap memaksakan senyumnya dan melanjutkan cerita.
“Tapi saya tidak marah pada Tuhan, karena ibu pernah bilang kepada saya kalau seburuk-buruknya hidup yang kita jalani, Tuhan pasti punya bencana yang indah.” Tambahnya saat menyudahi kisah hidupnya.
Mendengarnya aku seakan dicambuk. Kulihat seorang gadis kecil yang masih berusia 12 tahun bisa menjalani hidup yang sulit. Rela mengorbankan masa kanak-kanaknya. Aku melihat diriku sendiri dan merasa malu, bagaimana aku menyerah dan putus asa saat masalah datang menghadang. Bahkan dengan bodohnya fikiran untuk mengakhiri hidup sempat terbesit di hatiku.
Hujan masih turun, walau hanya tetesan-tetesan dari langit. Cahaya matahari menembus hujan menyinari wajah gadis kecil di hadapanku. Senyum di wajahnya tetap betah bertahan dan kini membuatku juga tersenyum melihatnya seakan senyumnya adalah virus yang menular. Aku memeluk gadis kecil itu. Tidak kupedulikan lagi pakaianku yang mungkin basah olehnya. Aku memberikan uang 100 Ribu terakhir yang ada di dompetku berharap dengan uang ini gadis kecil itu dapat membeli obat untuk ibunya. Dengan senyum yang masih merekah ia menerimanya dan berterima masih padaku lalu berlari dan menghitungnya di belokan jalan tempatnya datang tadi.
Aku berdiri, perjalananku sambil menerobos hujan gerimis menuju jalan yang tak pernah kulupa. Yap, jalan menuju rumah orangtuaku.
TAMAT
Cerpen Karangan: Anni Wulqiah Hamzah
Facebook: Anni Wulqiah Hamzah
Ini adalah cerpen pertamaku yang dipublikasikan. Aku berharap kritikan yang dapat membantuku untuk membuatku cerita yang lebih baik.
Happy Reading ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar